Wacana Imperialis
1.
Biografi Singkat Paul Michael Foucault
1.
Biografi Singkat Paul Michel Foucault
Paul
Michel Foucault (Poitiers, 15 Oktober 1926 Paris, 25 Juni 1984) adalah seorang
filsuf asal Perancis. Ia salah satu pemikir paling berpengaruh pada zaman pasca
Perang Dunia II. Foucault dikenal akan penelaahannya yang kritis terhadap
berbagai institusi sosial, terutama psikiatri, kedokteran, dan sistem penjara,
serta akan karya-karyanya tentang riwayat seksualitas. Karyanya yang terkait kekuasaan
dan hubungan antara kekuasaan dengan pengetahuan telah banyak didiskusikan dan
diterapkan, selain pemikirannya yang terkait dengan “wacana” dalam konteks sejarah
filsafat Barat.
Pada
tahun 1980, Foucault diidentikkan dengan gerakan Postmodernisme, yaitu ketika ia
menuangkan pemikirannya dalam beberapa tulisan, yaitu diantaranya The Order of
Things, The Archeology of Knowledge, Dicipline and Punish, Language, Counter Memory,
Practise, The History of Sexuality dan Power Knowledge. Analisisnya yang
terkait dengan discourse, power dan knowledge merupakan sumbangan yang besar terhadap
kritik pembangunan.Michel Foucault merupakan salah satu tokoh yang paling
berpengaruh dalam gerakan Postmodernisme, yang menyumbangkan perkembangan teori
kritik terhadap teori pembangunan dan modernisasi dari perspektif yang sangat
berbeda dengan teori-teori kritik lainnya (Sarup, 1993; Berten, 2002; Fakih,
2002).
2. Pemikiran Paul Michel Foucault
1)
Menurut Foucault (Sarup 1993 dan Berten 2002), wacana pembangunan merupakan
alat untuk mendominasi kekuasaan. Pemikiran Foucault yang utama adalah penggunaan
analisis wacana untuk memahami kekuasaan yang tersembunyi di balik pengetahuan.
Analisisnya terhadap hubungan kekuasaan dan pengetahuan memberikan pemahaman
bahwa peran pengetahuan tentang pembangunan telah mampu melanggengkan dominasi
terhadap kaum marjinal. Pandangan tersebut dimasukkan dalam karyanya tentang A
Critique of Our Historical Era (dalam Wahyudi, 2006).
Foucault
melihat ada problematika dalam bentuk modern pengetahuan, rasionalitas,
institusi sosial, dan subjektivitas. Semua itu, menurutnya terkesan given and
natural, tetapi dalam faktanya semua itu adalah “serangkaian konstruk sosiokultural
tentang kekuasaan dan dominasi”. Pendapat ini didasarkan pada studi tentang
dominasi kekuasaan (penjajahan/kolonialisme) negara-negara dunia pertama (Negara
Maju) terhadap negara-negara dunia ketiga (negara berkembang). Melalui pengetahuan,
negara-negara berkembang tetapi juga untuk menghancurkan ideologi-ideologi
negara-negara berkembang dan menggan-tikannya dengan ideologi kapitalis.
Pemikiran Foucault tentang kontrol penciptaan wacana dan bekerjanya kekuasaan
pada pengetahuan sangat membantu para teoretisi dan praktisi perubahan sosial
untuk melakukan pembongkaran terhadap teori dan praktek pembangunan. Hal ini
perlu diperhatikan karena tanpa menganalisis pembangunan sebagai suatu wacana,
maka akan sulit untuk memahami bagaimana Negara Barat mampu melanggengkan
kontrol secara sistematik dan bahkan menciptakan ketergantungan negara Dunia
Ketiga secara politik, budaya dan sosiologi kepada Negara Barat tersebut. maju
menciptakan konsep pembangunan yang digunakan sebagai alasan dan strategi untuk
memecahkan masalah “keterbelakangan” di negara-negara berkembang.
Akan
tetapi, faktanya alasan dan strategi membangun “keterbelakangan masyarakat” di
negaranegara berkembang tersebut justru digunakan sebagai kedok untuk
melanggengkan penjajahan, eksploitasi, dan dominasi kekuasaan terhadap
negara-negara berkembang. Konsep pembangunan tersebut tidak hanya melanggengkan
dominasi dan ekploitasi pada negara.
2)
Sejarah dominasi tersebut
telah terjadi
sejak abad penaklukan “dunia baru”
hingga saat ini. Sebelum tahun 1945, strategi dominasi dilakukan dengan
menggunakan wacana “dunia terbelakang”. Selanjutnya, pada era pasca
kolonialisme, negara-negara maju
mendirikan IBRD (bank dunia)
tahun 1940-an dan 1950-an dengan wacana pembangunan untuk melakukan dominasi
terhadap negara-negara berkembang. merasa mampu untuk
menyelamatkan kemajuan dunia dengan
menciptakan Marshall Plan,
yang ditujukan untuk menjadikan
negara miskin menjadi kaya dan keterbelakangan berubah menjadi pembangunan.
Organisasi internasional diciptakan untuk tujuan tersebut, yang diperkuat
dengan pengetahuan ekonomi baru dan diperkaya
dengan desain sistem
manajemen yang canggih, sehingga
membuat negara-negara berkembang menjadi yakin akan keberhasilannya (Berten,
2002).
3)
Selanjutnya, menurut argumentasinya bahwa hubungan antara bentuk
kekuasaan modern dan
pengetahuan modern telah menciptakan bentuk dominasi baru. Bagi
Foucault, selain eksploitasi
dan dominasi, ada
satu bentuk yang diakibatkan
oleh suatu wacana pembangunan, yakni subjection (bentuk
penyerahan seseorang pada orang
lain sebagai individu,
seperti pasien pada psikiater). Oleh karena itu, yang perlu dipelajari
adalah upaya untuk membangkitkan kembali local centres dari
power knowledge, pola transformasinya, dan upaya untuk
masukkan ke dalam strategi dan akhirnya menjadikan pengetahuan mampu
men-support kekuasaan (Sarup, 1993).
4)
Menurut pemikiran Foucault (Sarup,1993), bahwa setiap strategi yang mengabaikan
berbagai bentuk power akan mengalami kegagalan. Untuk melipatgandakan power,
harus berusaha bertahan dan melawan dengan jalan melipatgandakan resistensi dan
kontra-ofensif. Localize- resistence tersebut haruslah bersifat radikal dan
tanpa kompromi untuk melawan totalitas kekuasaan (daripada memakai cara
revolusi massa), dengan strategi yang ditujukan untuk mengembangkan jaringan
kerja perjuangan, kantong-kantong resistensi dan popular base.
5)
Yang perlu mendapatkan perhatian adalah analisis power tertentu (antar
individu, kelompok, kegiatan
dan lain- lain) dalam rangka
mengembangkan strategi pengetahuan dan membawa skema baru politisi,
intelektual, buruh dan kelompok tertindas lainnya, maka power tersebut akan
digugat. Apabila umumnya kekuasaan hanya tertuju pada negara dan kelas elit,
pemikiran Foucault membuka kemungkinan untuk
membongkar semua dominasi dan
relasi kekuasaan, seperti kekuasaan dalam pengetahuan antara para pencipta
wacana, seperti birokrat dan akademisi terhadap rakyat miskin dan siswa yang
dianggap “tidak beradab” dan harus didisiplinkan, diregulasi dan “dibina”.
6)
Bila dalam paradigma
modern, kesadaran dan objektivitas adalah dua unsur yang
membentuk subjek rasional-otonom, bagi
Foucault konsep diri manusia sebenarnya hanyalah produk bentukan wacana,
praktik- praktik, institusi, hukum ataupun sistem-sistem administrasi, yang
anonim dan impersonal itu sebenarnya sangat
kuat mengontrol (Madness
and Civilization (1988); The
Order of Things dan The Archeology of Knowledge, (1982). Bahkan, Iebih dalam
lagi, Foucault ingin membongkar keterkaitan yang biasanya dianggap niscaya
antara kesadaran, refleksi-diri dan kebebasan. Skeptisisme epistemologis yang
ekstrim telah membuat Foucault menyejajarkan pengetahuan, subjektivitas dengan
kekuasaan, dan karenanya menganggap segala bentuk kemajuan/pencerahan, baik di
bidang psikiatri, perilaku seksual, maupun
pembaharuan hukum–selalu saja
sebagai tanda-tanda kian meningkatnya bentuk kontrol atas kesadaran dan
perilaku individu. Bukan oleh agen atau rezim tertentu, melainkan oleh jaringan
relasi- relasi semiotis, diskursif dan administratif, yang sebetulnya
anonim-impersonal tadi (Sarup, 1993).
7)
Salah satu hal yang paling inspiratif bagi Postmo adalah sikapnya dalam
memahami fenomena modern
yang bernama “pengetahuan”, terutama Pengetahuan sosial. Ia membahas
tentang “Apa itu pengetahuan”, secara genealogis dan arkeologis; artinya,
dengan melacak bagaimana pengetahuan itu telah beroperasi dan mengembangkan
diri selama ini. Kategori-kategori konseptual seperti “kegilaan”,
“seksualitas”, “manusia”, dan sebagainya yang biasanya dianggap “natural” itu
sebetulnya adalah situs-situs produksi pengetahuan, yang membawa
mekanisme-mekanisme dan aparatus kekuasaan,
yakni kekuasaan untuk
“mendefinisikan” siapa kita. Ilmu-ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan
adalah agen-agen kekuasaan itu. Meskipun demikian, kekuasaan itu tidak selalu
negatif-repressif melainkan juga positif- produktif (menciptakan kemampuan dan
peluang baru), karena mehamami kemodernan bukan lagi sebagai pembebasan,
melainkan sebagai proses kian intensif dan ekstensifnya pengawasan
(surveillance), melalui “penormalan”, regulasi dan disiplin (Berten, 2002).
8)
Sementara itu menurut Foucault (1979), sejarah adalah permainan dominasi dan
resistensi yang bergeser-geser, grouping dan regrouping. Dalam sejarah, manusia
memang sempat terbebas dari rantai kontrol eksternal- fisik, tetapi hanya untuk
dibelenggu oleh rantai kontrol internal-mental
oleh diri sendiri
( Madness and Civilization, 1988).
Berdasarkan
pemikiran Foucault di atas dapat diketahui bahwa berbagai macam pengetahuan
yang digunakan sebagai jargon pembangunan dan demokrasi seperti kesederajatan,
kebebasan, dan keadilan, serta diciptakannya Marshall Plan, yang ditujukan
untuk menjadikan negara miskin menjadi kaya, keterbelakangan menjadi
pembangunan adalah alat-alat permainan dalam relasi kekuasaan untuk mendapatkan
kekuasaan terhadap orang-orang yang tertindas.
Dalam aplikasi dan kenyataan yang ada di negara Dunia Ketiga, telah
terjadi intervensi yang mendalam atau terbentuk kekuasaan dan kontrol baru yang
sangat halus, baik Dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan bidang lainnya.
Dengan kata lain, Dunia Ketiga menjadi target dari kekuasaan dalam berbagai
bentuk dari lembaga kekuasaan baru Amerika dan Eropa, lembaga internasional,
pemodal besar (perusahaan transnasional) sehingga dalam beberapa tahun telah
mencapai ke semua lapisan masyarakat. Selanjutnya, ketika pembangunan mengalami
krisis, wacana baru telah dilontarkan, yaitu globalisasi, untuk melanggengkan
subjection, dominasi dan eksploitasi
yang dilakukan oleh
Negara Barat terhadap Dunia Ketiga. Di ASEAN juga
dilontarkan wacana baru tentang MEA 2015 oleh pemilik modal besar yang
dikontrol oleh lembaga kekuasaan baru di regional ASEAN yaitu Singapura dan
Malaysia.
Secara skematis
pemikiran Michel Foucault
dapat dijelaskan sebagai berikut:
Gambar
: 4.3 : Skema Pemikiran Foucault
Berdasarkan
skema diatas dapat diketahui bahwa kekuasaan
modern menggunakan pengetahuan
modern untuk menciptakan wacana pembangunan yang digunakan sebagai alat
dominasi kekuasaan. Selanjutnya
dominasi
kekuasaan
digunakan oleh kekuasaan modern untuk melanggengkan kekuasaan, memarjinalisasi
kaum tertindas. Adapun oleh negara-negara maju dominasi kekuasaan digunakan
untuk memiskinkan negara-negara berkembang, menguasai kekayaan negara-negara
berkembang dan membuat ketergantungan serta penyerahan diri negara berkembang
kepada negara maju/imperialis. Akibat dari dominasi kekuasaan tersebut akan
menimbulkan resistensi oleh rakyat yang tertindas dan termarjinalisasi serta
negara- negara yang termiskinkan.
Daftar
Pustaka
Salamah,
Umi. 2015. Perspektif Teori Postmodern
Terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer. Malang: KAFNUN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar