Sastra dan Bahasa

Sastra dan Bahasa

Sabtu, 02 Desember 2017

Wacana Imajiner 1. Biografi Singkat Jacques Marie Émile Lacan



Wacana Imajiner

1.   Biografi Singkat Jacques Marie Émile Lacan
Jacques Marie Émile Lacan lahir tahun 1901 dari keluarga  Katolik  borjuis.  Dia  adalah  seorang  mahasiswa yang mengagumkan, dan unggul terutama pada penguasaan bahasa Latin dan filsafat. Dia melanjutkan ke sekolah kedokteran, dan mulai belajar psikoanalisis pada tahun 1920 dengan  psikiater  Gaitan  de  Clérambault.  Ia  belajar  di Faculté de Medecine de Paris, dan bekerja dengan pasien yang menderita délires deux Ý, atau "otomatisme," kondisi di mana pasien percaya bahwa tindakannya, tulisanya, dan bicaranya, dikendalikan oleh kekuatan luar dan yang Mahakuasa. Sebuah gerakan psikoanalitis tumbuh di Perancis telah menunjukkan minat tertentu pada pasien yang sama. Lacan menulis disertasi untuk doctoratnya d'état tahun 1932 berjudul De La Psychose Paranoïaque Dans Ses Rapports Avec La Personnalité, yakni menarik hubungan antara obat phsychiatric dan psikoanalisis. Itu adalah kombinasi dari teoritis dan klinis  yang akan  menjadi praktek Lacan  dan menginformasikan apa yang disebutnya "kembali ke Freud." Dalam masa hidupnya, Lacan memperluas bidang psikoanalisis ke dalam filsafat, linguistik, sastra, dan matematika, melalui pengujian ulang Freud dan praktek klinis lanjutan.
Jacques Lacan adalah tokoh yang sangat berpengaruh dalam psikoanalis dengan teorinya yang menafsirkan ulang karya-karya Freud. Selain dianggap memberikan terobosan di dalam psikoanalis,Lacan juga dianggap mengacaukan teori psikoanalis konvensional. Lacan juga seorang terapis Perancis yang memiliki latar belakang filsafat dan surealisme. Ia menganggap psikoanalis khususnya Amerika sudah bergeser dari konsep awal yang dicetuskan oleh Freud karena Lacan menganggap para  terapis  telah  menjadikan  pasien-pasiennya  sebagai objek penelitian. Lacan beranggapan bahwa psikoanalis adalah ilmu pengobatan yang didalam prakteknya seorang terapis tidak boleh ikut campur dalam perkembangan pasiennya, kecuali hanya membuka jalan kepada wilayah tidak sadar pasiennya, dan membiarkan pasiennya untuk menemukan     jalan     keluar     permasalahannya     sendiri.
Lacan juga menyadari  bahwa pemikiran Freud yang dipelajarinya  selama  ini  adalah  pemikiran  yang  keliru, karena yang dipelajarinya adalah Freud berdasarkan pemahaman  Freudian  Perancis  dan  Freud  yang mendominasi Amerika. Kemudian ia memutuskan untuk membaca ulang karya Freud dan berusaha untuk memahami pemikiran Freud yang sesungguhnya.
Secara garis besar pengaruh yang dominan dalam teori Lacan adalah pemikiran Freud, filsafat Hegel dan filsafat strukturalis dan post strukturalis. Lacan   dengan   mengacu   pada   teori   Freud   melakukan beberapa terobosan dalam pandangannya mengenai wilayah bawah sadar yang menurut pandangannya bukan sebagai penyebab neurosis. Penjelasannya ini sekaligus meluruskan kesalahpahaman terhadap teori Freud yang selama ini menyatakan bahwa wilayah bawah sadar adalah penyebab neurosis. Lacan menyatakan “wilayah bawah sadar merupakan diskursus dari yang lain” wilayah bawah-sadar adalah yang lain itu sendiri, asing dan tidak terpahami, kemudian peranan terapis berfungsi sebagai sarana bagi wilayah bawah sadar itu untuk menampilkan dirinya.
Di dalam wilayah tidak sadar sendiri terdapat hasrat yang menurut Freud merupakan harapan atau keinginan   yang   bersifat   tidak   disadari   dan   menjadi pendorong    bagi    tindakan    seseorang    untuk    mencari  pemenuhan akan hasratnya. AdapunLacan dengan memadukan pengaruh filsafat Hegel memandang hasrat sebagai pengakuan atau perjuangan untuk mendapatkan pengakuan dari sesamanya agar mendapatkan kepastian/status akan dirinya. Lacan juga menyebutkan bahwa subjek terletak dalam wilayah tidak sadar, dan hasrat adalah kebenaran sang subjek, sedangkan subjek merealisasikan dirinya melalui bahasa. Jadi bahasa merupakan cara untuk menyampaikan kebenaran bagi sang subjek.
2.   Pemikiran Jacques Marie Émile Lacan
Pembahasan terhadap pemikiran Lacan, tidak bisa dipisahkan daripemikiran Freud mengenai Id, Ego, dan Superego (Lacan, 1977:155-156). Lacan menyinggung tiga konsep penting, yaitu kebutuhan (need), permintaan (demand), dan hasrat (desire). Perkembangan ketiga konsep itu dihubungkan dengan tiga fase perkembangan manusia yaitu: yang real, imajiner, dan simbolik. (Hill, 2002: 8-11). Pada   ketiga   tahapan   itu,   tatanan   simbolik   merupakan tahapan terpenting dalam psikoanalisa. Konsep tatanan simbolik diilhami dari pemikiran Lévi-Strauss tentang hubungan kekeluargaan dalam dunia sosial.
1)   Pemikiran tentang FaseThe Real
Fase the real adalah masa ketika seorang subjek berada didalam suatu keadaan yang serba berkecukupan dalam arti segala sesuatu yang dibutuhkan sudah terpenuhi dengan sendirinya, contohnya adalah bayi yang berada didalam rahim ibuhingga lahir sampai berumur kurang dari 6 bulan. Ketika dalam kandungan, sang bayi berada dalam keadaan nyaman dan serba terpenuhisemua yang dibutuhkan karena selalu disuplai secara otomatis oleh tubuh ibunya. Hal ini disebabkan oleh menyatunya ibu dan anak didalam satu tubuh. Sang bayi hidup digerakkan oleh kebutuhan (need) akan makanan, minuman, kenyamanan, dan lain-lain. Bayi itu selalu mendapatkan kebutuhannya, dalam arti  ia mendapatkan kepuasan dari konsumsi objek itu (http:// escape.freud. diunduh 2 Desember 2014) Sang  bayi  dengan  kata  lain  berada  dalam  situasi ‘keterpenuhan’. Belum ada konsep ‘pribadi’ yang muncul pada tahapan ini, relasi yang terjadi hanyalah keinginan bayi dan objek pemuas yang didapatkan bayi itu. Keterpenuhan dapat terjadi tanpa adanya ketiadaan. Perlu digarisbawahi bahwa the real bukanlah realitas.
The real  adalah gagasan realitas yang dibentuk dari konstruksi sosial yang ada di masyarakat. Bayi tidak mengenal   konsep   keterpisahan   dengan   ibunya   (“The Other”). Bayi adalah individu yang tidak memiliki pemahaman atas ‘kediriannya’ dengan kata lain sang bayi tidak memiliki subjektivitas tentang konsep diri sebagai individu.
Tahapan the real akan terhenti ketika sang bayi menyadari ia berbeda dengan ibunya (The Other). Ketika dirinya adalah sesuatu yang berdiri sendiri selain sesuatu di luar dirinya, tepat pada saat itulah kebutuhan (need) sang bayi menjadi permintaan (demand).

2) Pemikiran tentang Fase Imajiner

Fase imajiner ini terjadi antara usia 6-18 bulan. Fase ini ditandai dengan kesadaran bayi bahwa ia merupakan individu yang terpisah dari ibunya, yaitu satu kondisi ketika subjek telah menyadari bahwa ia terpisah dari tubuh ibunya dan memiliki satu kebutuhan yang berbeda dari ibunya. Pembentukkan   ilusi   ego   yang   terjadi   disebabkan   oleh adanya  identifikasi  imajiner  atas  pantulan  diri  di  cermin yang menjadi ‘pembenaran’ bagi sang bayi sebagai identitas yang terpisah dari ibunya. Hal inilah yang disebut Lacan saat sang bayi mengalami méconnaisance atau kesalahpahaman  sang  bayi  mengenali  pantulannya.  Sang bayi berpikir pantulan itu adalah dirinya namun sebenarnya pantulan itu bukanlah dirinya, kemudian sang bayi merepresentasikan pantulan dirinya di cermin sebagai ‘diri’ dan darisanalah tercipta ‘ego’.
Selain itu,menurut Lacan dalam fase cermin, telah terjadi alienasi didalam diri subjek yaitu  citra yang dipantulkan   dan   diidentifikasikan   oleh   subjek   sebagai sebuah pengharapan “the other” terhadap diri subjek. Jadi alienasi didalam pemikiran Lacan adalah masuknya pengharapan “the other” kedalam diri seorang anak, misalnyaapakah memilih makanan, minuman, dan pakaian merupakan  keinginan  murni  dari  anak  tersebut?  Apakah tidak ada kontribusi keinginan “the other” terhadap si anak yang kemudian ia memutuskan untuk makanan, minuman, dan pakaian yang disukai sesuai dengan keterpenuhan dan kenyamannannya? The other dalam Lacan adalah orang lain yang ada disekeliling subjek, yaitu bisa keluarga, saudara, tetangga dan lain-lain (Lacan, 2004).
Dalam proses inilah pemahaman ‘keakuan’ sang bayi terbentuk  seperti  konsep  kompleks  Oedipus  pada  teori Freud, yakni ketika sang anak merasakan adanya gangguan atas hubungannya dengan  The other terhadap  identifikasi yang dilakukannya melalui pantulan cermin, sehingga menimbulkan konflik dengan ‘ketidakpenuhan’ yang terjadi dalam dirinya. Perpecahan dalam diri itulah yang menyebabkan  sang anak lalu membuat  gambaran tentang ego ideal yang diperolah dari keadaan “The other” dan akan berusaha terus menerus mencapai kepenuhan itu dengan mencapai ideal ego.
3) Pemikiran tentang Fase Symbolik

Fase simbolik ditandai dengan adanya konsep hasrat (desire). Simbolik juga merupakan struktur bahasa yang menjadikan manusia sebagai subjek yang berbicara untuk menjadi ‘aku’ dan berkata sebagai ‘aku’ untuk mencapai suatu kondisi yang stabil sebagai individu. Sang anak mulai masuk ke dalam fase simbolik ketika ia mengetahui konsep “The other” yang teridentifikasi dari gambaran pantulan cermin (Lacan, 2004).
Lebih lanjut Lacan menjelaskan bahwa fase imajiner dan simbolik merupakan fase yang bersinggungan. Kebersinggungan  ini  terjadi  pada  saat  anak  menyadari ‘keakuannya’ ketika melihat pantulan cermin dan melihat gambar ‘yang lain’ dalam cermin itu. Anak sebagai subjek dapat  dikatakan  mulai  masuk  ke  dalam  tatanan  simbolik pada saat ia mengikuti hal-hal yang ada dalam tatanan simbolik, sama seperti yang dirasakan dalam tahapan imajiner.
Meskipun demikian, perasaan akan keinginan untuk mencapai keterpenuhan diri tidak akan pernah ditemukan dalam  individu,  dan  disanalah  ironi  kehidupan  manusia mulai terjadi. Lacan menyebutkan tatanan simbolik sebagai perubahan ke arah‘The Other’. Ketidaksadaran adalah wacana atas ‘The Other’. Tatanan simbolik berisikan hukum dan peraturan yang mengatur keinginan/hasrat (desire) yang bertentangan dalam dunia imajiner. Dengan demikian fase simbolik  adalah  faktor   yang  menentukan  subjektivitas, yakni   subjek   selalu   berada   dalam   fase   imajiner   dan simbolik,  tetapi  imajiner  hanyalah  fatamorgana  dari  apa yang terjadi pada fase simbolik. Bentuk lain dari hasrat   (desire) adalah “keinginan untuk  menjadi”  sebuah  subjek  yang  utuh,  tidak  terbelah,  tanpa kekurangan, dan penuh dengan pemenuhan. Dengan begitu, timbulnya hasrat pada fase simbolik berarti kembalinya individu pada the real, yang telah menghilang saat dikenakan bahasa. Jadi hasrat pada fase ini adalah kembalinya pada sesuatu yang tidak mungkin lagi dijelajahi oleh bahasa dan simbol.
Dengan demikian, identitas sebenarnya hanyalah kesemuan yang disebabkan adanya efek penandaan. Keterjebakan dalam bahasa membuat manusia secara tidak sadar masuk dalam lingkaran penanda (circle of signifiers) ini. Konsekuensi logisnya, hasrat tidak dapat menunggangi bahasa, dan bahasalah yang memanipulasi hasrat   (Lacan,
2004).
4) Pemikiran tentang Phallus (nom-du-père)

Konsep Lacan (2004) mengenai nom-du-père berasal dari kompleks Oedipus Freud yang dikembangkan secara sosial-budaya. Nom-du-père adalah konsep inti dari fase simbolik. Ketika Freud menyatakan penis sebagai sebuah simbol ‘utuh’ dari sisi biologis dan pembeda antara laki-laki dan perempuan,   Lacan menyatakan nom-du-pere adalah “The Other” atau sering juga disebut sebagai phallus. Phallus   yang   dimaksud   Lacan   bukanlah   penis   secara  biologis tetapi sesuatu yang secara simbolik mengisyaratkan adanya‘keterpenuhan’ dan menjadi inti dari pusat tatanan simbolik.
Phallus menjadi representasi sistem nilai, norma, dan kekuasaan partriarkal yang menjadi dasar fase simbolik. Sama  halnya  dengan  bahasa,  phallus  merupakan  struktur dari bahasa itu sendiri, sebagai pusat yang mengatur ke’ajeg’an simbolik. Phallus adalah penanda yang berada dalam tataran ketidaksadaran  yang bersifat tidak stagnan. Oleh karena itu, phallus dapat menjadikan sebuah makna menjadi tegas.
Dalam memahami pengertian phallus, harus dipahami juga peran kastrasi. Definisi mengenai perbedaan laki-laki  dan  perempuan  dapat  dijelaskan  dari  ketakutan akan kastrasi, yakni ketika Lacan menggambarkan individu takut kehilangan sesuatu (dalam hal ini penis), seperti dijelaskan di atas, Lacan mengandaikan phallus pada perempuan sama halnya dengan vagina, payudara, dan klitoris. Konsep penis merupakan simbol keutuhan, yang diperlukan oleh semua orang. Phallus is what no one can have but everyone wants: a belief in bodily unity wholeness perfect(Robertus, 2008:3).
Sebagaimana dikatakan Lacan sebelumnya bahwa bahasa menjadi penting karena adanya rantai penanda dan petanda yang terikat satu dengan yang lain dan tidak pernah terputus, maka konsep ini pun diadaptasi dari Saussurean. Sungguhpun demikian, Lacan mengoreksi Saussure, dengan menyatakan bahwa petanda bukan merupakan sesuatu yang ‘ajeg’melainkan  merupakan  sesuatu  yang  cair  atau  tidak tetap.
6) Pemikiran tentang Jouissance dan desire
Jouissance adalah suatu ‘kenikmatan’. Dalam hal ini, Lacan menjelaskan Jouissance merupakan kenikmatan yang melebihi kenikmatan itu sendiri, namun kenikmatan ini hanyalah berada pada satu titik dan dari kenikmatan itu juga dirasakan penderitaan dan kesakitan  yang tidak berujung. Jouissance bukan merupakan pengalaman ‘kenikmatan’ murni.  Sama  seperti  dua  keping  mata  uang,  kenikmatan akan didapatkan karena adanya sensasi dari ‘kesakitan’ tertentu.  Lacan  menjelaskan  adanya  perasaan  ingin mencapai jouissance diakibatkan adanya situasi ‘la manque’ terhadap  hal  tertentu,  bersamaan  ketika  kita  meniadakan rasa itulah, kita mendapatkan kenikmatan dalam tanda-tanda pada tataran simbolik the real (Robertus, 2008:6).
Jouissance dapat dikaitkan dengan konsep masokis, yakni ketika individu menyakiti dirinya untuk mencapai kepuasan tertentu, hal ini tidak hanya berada pada ranah seksual, tapi juga dalam ranah sosial, seseorang merepresi keinginannya untuk menemukan sebuah kepuasan dari rasa sakit atas penekanannya pada keinginannya itu. Jouissance menjadi alasan dari keinginan sehingga kenikmatan dari mengingini   sesuatu   akan   terus   terjadi   demi   proses pencapaian keinginan itu sendiri, karena individu menemukan kepuasan dalam mengingini di dalam ketiadaan kepuasan. Dalam budaya Jawa upaya untuk mencapai kenikmatan hidup atau terkabulnya semua yang diinginkan dilakukan dengan melakukan prihatin dan tirakat. Kenikmatan hidup dalam persepsi budaya Jawa setara dengan yang disebut sebagai Jouissance, sedangkan laku prihatin dan tirakat setara masokis dalam konsep Lacan.
Prihatin adalah sikap menahan diri, menjauhi perilaku bersenang-senang,   dan   enak-enakan.   Tirakat   adalah   usaha-usaha tertentu untuk terkabulnya suatu keinginan. Hakekat dan tujuan dari laku prihatin  dan  tirakat  adalah  usaha  untuk  menjaga  agar  kehidupan manusia selalu  mendapat kebahagiaan, selamat, dan  sejahtera dalam lindungan Tuhan, agar dihindarkan dari kesulitan-kesulitan dan terkabul keinginan-keinginannya. Proses laku prihatin dan tirakat ini mendorong dan mengarahkan perilaku seseorang agar selalu bersikap positif dan  menjauhi  hal-hal  yang  bersifat  negatif  dan  tidak  bijaksana,  demi tercapainya tujuan hidup.
Laku   prihatin   pada   prinsipnya   adalah   perbuatan   sengaja untuk  menahan diri  terhadap kesenangan-kesenangan, keinginan- keinginan, dan nafsu/hasrat yang tidak baik dan tidak bijaksana dalam kehidupan. Laku prihatin juga dimaksudkan sebagai upaya menggembleng diri untuk mendapatkan  kekuatan jiwa dan raga dalam menghadapi gelombang-gelombang dan kesulitan hidup.  Orang yang tidak biasa laku prihatin, tidak biasa menahan diri, dan akan merasakan beratnya menjalani laku prihatin.
Laku prihatin dapat dilihat dari sikap seseorang yang menjalani hidup  ini  secara  tidak  berlebih-lebihan. Idealnya,  hidup  ini  dijalani secara proporsional, selaras dengan apa yang benar-benar menjadi kebutuhan hidup, dan tidak melebihi batas nilai kepantasan atau kewajaran (tidak berlebihan dan tidak pamer). Walaupun kepemilikan kebendaan seringkali dianggap sebagai ukuran kualitas dan keberhasilan hidup seseorang, dan sekalipun seseorang sudah jaya dan berkecukupan. Laku prihatin juga dapat dilihat dari sikapnya yang menahan diri dari perbuatan-perbuatan tidak baik, tidak pantas, tidak bijaksana, dan dari perilaku konsumtif berlebihan. Menjalani laku prihatin juga tidak sama dengan menahan diri karena hidup yang serba kekurangan.
Orang Jawa mengatakan bahwa hidup harus selalu eling lan waspada. Artinya selalu ingat Tuhan. Tetapi biasanya manusia hanya mengejar kesuksesan saja, keberhasilan, keberuntungan, dan sebagainya, tetapi tidak tahu pengapesannya (saat kesialannya tiba). Orang Jawa menyakini bahwa orang-orang yang selalu ingat kepada    Tuhan  dan  menjaga  moralitas,  seringkali  hidupnya  banyak godaan dan banyak kesusahan. Kalau eling ya harus tulus, jangan ada rasa sombong, jangan merasa lebih baik atau lebih benar dibanding orang lain, jangan ada pikiran jelek tentang orang lain, karena kalau bersikap  begitu  sama  saja  bersikap  negatif  dan  menumbuhkan aura negatif  dalam  diri  sendiri.  Aura  negatif  akan  menarik  hal-hal  yang negatif juga, sehingga kehidupan akan berisi hal-hal yang negatif.
Di sisi lain orang Jawa juga harus sadar, bahwa orang-orang yang terlalu banyak menahan diri, membatasi perbuatan-perbuatannya, sering menjadi kurang kreatif. Oleh karena itu, agar dapat berkembang optimal,  kreatif,  dan  inovatif  harus  menyadari dan  mengembangkan kemampuan,  potensi  diri,  dan  peluang-peluangnya  dengan  tindakan nyata agar dapat menghasilkan banyak hal yang bermanfaat untuk kemajuan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  tanpa  harus  melupakan Tuhan dan merusak moralitasnya.
Sebaliknya,  orang  Jawa  meyakini  bahwa  orang-orang  yang tidak ingat Tuhan atau tidak menjaga moralitas, hidupnya terlihat lebih bebas, dapat bersenang-senang tanpa beban moral, dan dapat melakukan apa saja walaupun tidak baik dan tercela. Beban hidupnya lebih ringan daripada yang menahan diri. Mereka bisa mendapatkan kesenangan dan kebebasan lebih banyak, karena mereka tidak banyak menahan diri.
Dalam tradisi Jawa, laku prihatin dan tirakat adalah bentuk upaya spiritual/kerohanian seseorang dalam bentuk keprihatinan jiwa dan raga, ditambah dengan laku-laku tertentu, untuk tujuan mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan hidup, kesejahteraan lahiriah maupun batin, atau juga untuk mendapatkan keberkahan tertentu, suatu ilmu tertentu, kekayaan, kesaktian, pangkat atau kemuliaan hidup. Laku prihatin dan tirakat ini, selain merupakan bagian  dari usaha dan doa kepada Tuhan, juga merupakan suatu ‘keharusan’ yang sudah menjadi tradisi, yang diajarkan oleh para pendahulu orang Jawa.Ada beberapa bentuk formal laku prihatin dan tirakat, dilakukan dengan cara:
1. Membersihkan hati dan batin dan membentuk hati yang tulus dan iklas.
2. Hidup sederhana dan tidak tamak, selalu bersyukur atas apa yang dimiliki.
3. Mengurangi makan dan tidur.
4. Tidak melulu mengejar kesenangan hidup.
5. Menjaga sikap eling lan waspada.

Dari pemikiran-pemikiran Lacan di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran Lacan dalam Postmo adalah bahwa keinginan tertinggi manusia itu adalah mencapai identitas dengan bahasa (Phalus/inti simbol) yang oleh Saussure disebut makna. Sementara identitas itu hakikatnya semu, maka tidak ada suatu identitas/makna yang sifatnya stagnan/tegas/selesai.  Jadi  pencarian  kebutuhan  tertinggi oleh manusia hakikatnya tidak pernah selesai.  Selain itu, kenikmatan hidup tertinggi manusia hanya bisa dicapai dengan cara menahan berbagai kesenangan atau menjalani berbagai jerih payah dan penderitaan (masokis yang dalam konsep Jawa prihatin dan tirakat). Ini berarti kenikmatan
hidup  tidak  bisa  dicapai  hanya  dengan  rasio  tetapi  juga melalui usaha tradisi dan metafisis.
Pemikiran Lacan secara skematis dapat digambarkan berikut ini:












Berdasarkan skema 4.6 di atas dapat dijelaskan bahwa pemikiran Lacan, menyinggung tiga konsep penting, yaitu kebutuhan (need), permintaan (demand), dan hasrat (desire). Perkembangan ketiga konsep itu dihubungkan dengan tiga fase perkembangan manusia yaitu: yang real, imajiner, dan simbolik. Setiap fase memuat tidak konsep penting, yakni kebutuhan (need), permintaan (demand), dan hasrat (desire). Dari ketiga tahapan itu, tatanan simbolik merupakan tahapan terpenting dalam psikoanalisa yang di dalamnya terdapat phallus yang   merupakan inti dari pusat tatanan simbolik. Oleh karena itu, untuk menguatkan phallus diperlukan satu konsep lagi yang disebut Jouissance. Fase the real adalah masa ketika seorang subjek berada didalam suatu keadaan yang serba berkecukupan dalam arti segala sesuatu yang dibutuhkan sudah terpenuhi dengan sendirinya, seperti bayi yang berada didalam rahim sang ibuhingga lahir sampai berumur kurang dari 6 bulan. Dalam konsep sosial, The real adalah gagasan realitas yang dibentuk dari konstruksi sosial yang ada di masyarakat. Tahapan the real akan terhenti ketika dirinya merasa sebagai sesuatu   yang   berdiri   sendiri,   tepat   pada   saat   itulah kebutuhan (need) menjadi permintaan (demand).
Fase imaginer ini ditandai dengan kesadaran bahwa ia merupakan individu yang memiliki satu kebutuhan yang berbeda  dari  the  other.  Dalam  proses  inilah  pemahaman ‘keakuan’  seperti  konsep  kompleks  Oedipus  pada  teori Freud,  yakni ketika dia merasakan adanya gangguan atas hubungannya dengan the other terhadap identifikasi yang dilakukannya,   sehingga   menimbulkan   konflik   dengan ‘ketidakpenuhan’ yang terjadi dalam dirinya. Perpecahan dalam diri itulah yang menyebabkan seseorang akan membuat gambaran tentang ego ideal yang diperoleh dari keadaan “The other” dan akan berusaha terus menerus mencapai kepenuhan itu dengan mencapai ideal ego.
Fase symbolik merupakan struktur bahasa yang menjadikan manusia sebagai subjek yang berbicara untuk menjadi ‘aku’ dan berkata sebagai ‘aku’ untuk mencapai suatu kondisi yang stabil sebagai individu. Seseorang dikatakan mulai masuk ke dalam tatanan simbolik pada saat ia mengikuti hal-hal yang ada dalam tatanan simbolik. Tatanan simbolik berisikan hukum dan peraturan yang mengatur keinginan/hasrat (desire) yang bertentangan dalam dunia  imajiner.  Dengan  demikian  fase  simbolik  adalah faktor   yang   menentukan   subjektivitas   menjadi   sebuah subjek  yang  utuh,  tidak  terbelah,  tanpa  kekurangan,  dan penuh dengan pemenuhan.
Phallus yang dimaksud Lacan adalah sesuatu yang secara simbolik mengisyaratkan adanya ‘keterpenuhan’ dan menjadi inti dari pusat tatanan simbolik. Phallus menjadi representasi sistem nilai, norma, dan kekuasaan partriarkal yang menjadi dasar fase simbolik. Sama halnya dengan bahasa, phallus merupakan struktur dari bahasa itu sendiri, sebagai pusat yang mengatur ke’ajeg’an simbolik. Phallus adalah penanda yang berada dalam tataran ketidaksadaran yang bersifat tidak stagnan. Oleh karena itu, phallus dapat menjadikan sebuah makna menjadi tegas.
Jouissance adalah suatu ‘kenikmatan’ yang melebihi kenikmatan itu sendiri, namun kenikmatan ini hanyalah berada pada satu titik dan dari kenikmatan itu juga dirasakan penderitaan dan kesakitan  yang tidak berujung. Jouissance bukan merupakan pengalaman ‘kenikmatan’ murni.  Sama  seperti  dua  keping  mata  uang,  kenikmatan akan didapatkan karena adanya sensasi dari ‘kesaktan’ tertentu. Jouissance dapat dikaitkan dengan konsep masokis (prihatin dan tirakat dalam konsep budaya Jawa). Prihatin adalah sikap menahan diri dan menjauhi perilaku bersenang- senang,   sedangkan   tirakat   adalah   usaha-usaha   tertentu sebagai tambahan untuk terkabulnya suatu keinginan. Berdasarkan konsep tersebut, Jouissance merupakan sikap dan perilaku untuk menahan diri dan menjauhi perilaku bersenang-senang serta melakukan usaha-usaha tertentu sebagai   tambahan   untuk   tercapainya   suatu   keinginan. Dengan demikian, Jouissance menjadi alasan untuk mencapai suatu keinginan dalam memperoleh   kenikmatan hingga menemukan kepuasan hidup.
Daftar Pustaka
Salamah, Umi. 2015. Perspektif Teori Postmodern Terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer. Malang: KAFNUN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar